Detournement De Pouvoir dan Tafsir Pancasila

Detournement De Pouvoir dan Tafsir Pancasila - Sharia Law Institute
Sharia Law Institute -- Detournement De Pouvoir dan Tafsir Pancasila. Saya akan mencoba membahas asas umum Pemerintahan yang baik (AUPB) yang terkait dengan pencabutan paksa status BHP HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). AUPB merupakan alat uji bagi hakim tata usaha negara (TUN) untuk menguji keabsahan atau pembatalan sebuah Keputusan TUN.

Penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi yaitu Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Mengacu kepada Pasal 17 Huruf c dan Pasal 18 ayat (1) UU AP 2014, ada 3 unsur larangan penyalahgunaan wewenang yaitu:

a. larangan melampaui Wewenang; 
b. larangan bertindak sewenang-wenang (detournement de pouvoir), 
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Saya akan menjelaskan ketiga hal diatas;

Pertama, tindakan sewenang-wenang; Senin (08/05/2017) Menko Polhukam Wiranto mengumumkan niat pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta menciptakan benturan di masyarakat (http://www.bbc.com/08/05/2017). Pernyataan Pemerintah lebih mengedepan bahasa politik dan propaganda ketimbangan hukum, misalnya kalimat “dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta menciptakan benturan di masyarakat”, padahal UU No.16 tahun 2013 terkait ormas masih berlaku, kenapa tidak menempuh melalui pengadilan? Ketimbangan melakukan konferensi pers? Terlebih lagi Menko Polhukam tidak memiliki kewenangan sedikitpun untuk membubarkan ormas?!.

Pasal 59 ayat (4) huruf C UU Ormas Nomor 16 Tahun 2017, yang berbunyi “menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”.

……paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Siapa yang berhak memutuskan faham tertentu bertentangan dengan Pancasila, apakah Pemerintah? Jika yang dimaksud adalah Pemerintah, maka itu adalah subyektif. Lantas siapa yang layak? 
Harus melalui proses pengadilan. Negara kita adalah negara hukum (Rechstaat). Bukan negara kekuasaan (Machstaat). Agar kita tidak ikut serta membuka peluang hadirnya diktator baru.

Rezim orde baru sering mengangkat isu atau opini kembali pada Pancasila, menguasai kebenaran tafsir atas Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai alat pembungkam berbagai kekuatan yang berseberangan dengan rezim. Tindakan seperti itu justru menjadi boomerang dan penerimaan masyarakat jauh dari harapan rezim, kepercayaan masyarakat kala itu terhadap Pancasila justru menurun. Apakah ini yang mau diulangi pemerintah sekarang? Seperti apa ormas yang anti-Pancasila itu? Jawaban pemerintah tentu merupakan tafsirannya sendiri atas Pancasila. Seolah hanya pemerintah yang paham Pancasila.

Kedua, melampaui Wewenang; Kewenangan yudikatif (pengadilan) dikebiri. bahwa keberadaan ketentuan Pasal 1 Ayat (6), (7), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (14), (15), (16), (17), (18),(19), (20), (21), (22), Dan Ayat (23), UU RI No.16 Tahun 2017 yang semula, UU No.16 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan serta pasal 80A memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum Ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan.

Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Dengan terbitnya Perppu 2/2017 yang kini menjadi UU No.16 tahun 2017 Pemerintah dengan leluasa membubarkan badan hukum perkumpulan (BHP) tanpa melalui proses pemeriksaan di pengadilan.

Ketiga, Menyalahgunakan prosedur. Prosedur sanksi administratif didalam Perppu 2/2017 yang telah menjadi UU No.16 tahun 2017 telah dilanggar, mereka yang membuat mereka pula yang melanggar. Hal ini bisa terlihat pada perkara pembubaran status BHP HTI, pemerintah tidak menempuh prosedur yang ada.

Sejak ditetapkannya Perppu No.2 tahun 2017 tentang ormas 10 Juli 2017, pada tanggal 19 Juli 2017 Kementerian Hukum dan HAM resmi mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia, surat keputusan pencabutan itu didasarkan pada pasal 80A pada Perppu 2/2017.

Selang 9 (Sembilan) hari semenjak ditetapkannya Perppu 2/2017, HTI tidak pernah mendapatkan surat peringatan tertulis bahkan langsung dicabut status BHP nya dan yang lebih parah Surat Keputusan pencabutan status BHP tidak dikirim kepada HTI langsung, tetapi melalui notaris tempat semula mengurus akta pendirian.

Kesimpulannya adalah pemerintah telah bertindak sewenang-wenang dan melampaui kewenangannya.

Oleh : Chandra Purna Irawan, M.H. 
(Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI (Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia) dan Direktur Penerimaan & Penanganan Perkara di Kantor Hukum SS)

Bangkit Studio

Blogger asal daerah pelosok Jawa Tengah yang hobi oprek desain grafis dan dunia sosial media. Salam Kenal.

Post a Comment

Previous Post Next Post